
Ratusan ribu warga Palestina akhirnya diizinkan untuk kembali ke rumah mereka di wilayah Gaza utara sejak Senin (27/1/2025), setelah Israel membuka pos pemeriksaan militer yang telah membagi wilayah tersebut selama lebih dari setahun, mengakhiri pengusiran paksa dari rumah mereka.
Warga Palestina akhirnya dapat kembali ke rumah mereka di Gaza utara setelah lebih dari setahun meninggalkan tempat tersebut akibat pemboman keji yang dilakukan oleh tantara Israel.
Menurut data terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 80.000 bangunan di Gaza Utara telah rusak dan hancur. PBB mengatakan lebih dari 200.000 orang terpantau bergerak ke utara pada Senin pagi (27/1/2025). Otoritas Hamas di Gaza mengatakan lebih dari 300.000 warga Palestina yang mengungsi telah kembali ke wilayah utara.
Banyak dari mereka yang menuju ke utara telah tahu atau menduga bahwa mereka akan kembali ke tempat yang tidak lebih dari sekadar reruntuhan, tetapi ingin mendirikan tenda di tanah mereka sendiri setelah berbulan-bulan berpindah-pindah di antara kamp-kamp pengungsian yang padat di selatan jalur tersebut. Di kota Gaza, kerumunan orang yang bersorak-sorai menunggu untuk menyambut mereka.
Tentu saja warga Palestina tidak mungkin hidup dengan membangun tenda disamping reruntuhan rumah dan bangunan mereka seumur hidup.
Lantas berapa lama waktu yang diperlukan dan berapa biaya yang diperlukan untuk membangun kembali Gaza?
PBB mengatakan bahwa perlu waktu lebih dari 350 tahun untuk membangun kembali jika blokade tetap ada.
Tingkat kerusakan sepenuhnya baru akan diketahui saat pertempuran berakhir dan inspektur memiliki akses penuh ke wilayah tersebut. Bagian Gaza yang paling parah hancur, di utara, telah ditutup dan sebagian besar penduduknya dikosongkan oleh pasukan Israel dalam operasi yang dimulai pada awal Oktober.
Dengan menggunakan data satelit, PBB memperkirakan bulan lalu bahwa 69% bangunan di Gaza telah rusak atau hancur, termasuk lebih dari 245.000 rumah. Bank Dunia memperkirakan kerusakan sebesar US$18,5 miliar atau berkisar Rp299,14 triliun (Rp16.170/US$1), hampir sama dengan gabungan hasil ekonomi Tepi Barat dan Gaza pada tahun 2022, hanya dari empat bulan pertama perang.
Israel menyalahkan Hamas atas kehancuran tersebut, yang memicu perang dengan serangannya pada 7 Oktober 2023 ke Israel, menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan menculik 250 lainnya. Serangan balasan Israel telah menewaskan lebih dari 46.000 warga Palestina, lebih dari setengahnya adalah wanita dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, yang tidak menyebutkan berapa banyak dari mereka yang tewas adalah pejuang.
Israel mengatakan telah menewaskan lebih dari 17.000 militan, tanpa memberikan bukti. Militer telah merilis foto dan rekaman video yang menunjukkan bahwa Hamas membangun terowongan dan peluncur roket di daerah permukiman, dan sering beroperasi di dalam dan di sekitar rumah, sekolah, dan masjid.
Gunung Puing Gaza Harus Dipindahkan
Sebelum apa pun dapat dibangun kembali, puing-puing harus dipindahkan, dan menjadi tugas yang sangat berat.
PBB memperkirakan bahwa perang telah mengotori Gaza dengan lebih dari 50 juta ton puing, kira-kira 12 kali ukuran Piramida Agung Giza. Dengan lebih dari 100 truk yang bekerja penuh waktu, akan butuh waktu lebih dari 15 tahun untuk membersihkan puing-puing, dan hanya ada sedikit ruang terbuka di wilayah pesisir sempit yang menjadi rumah bagi sekitar 2,3 juta warga Palestina.
Mengangkut puing-puing juga akan menjadi rumit karena puing-puing tersebut berisi sejumlah besar persenjataan yang belum meledak dan bahan-bahan berbahaya lainnya, serta sisa-sisa jasad manusia. Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan ribuan orang yang tewas dalam serangan udara masih terkubur di bawah reruntuhan.
Pembersihan puing-puing dan pembangunan kembali rumah-rumah pada akhirnya akan membutuhkan miliaran dolar dan kemampuan untuk membawa bahan bangunan dan peralatan berat ke wilayah tersebut, keduanya tidak terjamin.
Perjanjian gencatan senjata menyerukan proyek rekonstruksi tiga hingga lima tahun untuk memulai fase terakhirnya, setelah semua 100 sandera yang tersisa telah dibebaskan dan pasukan Israel telah ditarik dari wilayah tersebut.
Namun untuk mencapai titik itu akan membutuhkan kesepakatan pada fase kedua dan yang paling sulit dari kesepakatan tersebut, yang masih harus dinegosiasikan.
Bahkan saat itu, kemampuan untuk membangun kembali akan bergantung pada blokade, yang telah lama dikecam oleh para kritikus sebagai bentuk hukuman kolektif. Israel mengatakan hal itu diperlukan untuk mencegah Hamas membangun kembali kemampuan militernya, dengan mencatat bahwa semen dan pipa logam juga dapat digunakan untuk terowongan dan roket.
Israel mungkin lebih cenderung mencabut blokade jika Hamas tidak lagi berkuasa, tetapi tidak ada rencana untuk pemerintahan alternatif.
Amerika Serikat (AS) dan sebagian besar masyarakat internasional menginginkan Otoritas Palestina yang direvitalisasi untuk memerintah Tepi Barat dan Gaza dengan dukungan negara-negara Arab sebelum akhirnya terbentuk negara. Namun, hal itu tidak akan terjadi bagi pemerintah Israel, yang menentang negara Palestina dan telah mengesampingkan peran apa pun di Gaza bagi otoritas yang didukung Barat tersebut.
Para donor internasional tidak mungkin berinvestasi di wilayah yang tidak memiliki pemerintahan yang telah menyaksikan lima perang dalam waktu kurang dari dua dekade, yang berarti kamp-kamp tenda yang luas di sepanjang pantai dapat menjadi ciri permanen kehidupan di Gaza.