
Akhir-akhir rupiah menguat tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berkat prospek pemangkasan suku bunga semakin dekat. Sejumlah emiten pun tersenyum lantaran akan mendapatkan keuntungan dari keringan beban dan selisih kurs.
Prospek pemangkasan suku bunga kian meningkat setelah muncul peringatan resesi AS akibat data pasar tenaga kerja yang mengecewakan akhir Juli lalu.
Data CME FedWatch Tool menunjukkan sudah lebih dari 70% peluang bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga pada September mendatang.
Keyakinan pelaku pasar juga semakin tercermin dari indeks dolar AS (DXY) yang semakin melandai. CNBC Indonesia memantau hingga hari ini, Selasa (20/8/2024) DXY berada di level 101, ini merupakan level terendah sejak terendah dalam enam bulan terakhir.
Sejalan dengan tekanan dolar AS yang mereda, mata uang Garuda pun semakin perkasa dan pada hari ini juga ikut menyentuh level terkuatnya sejak awal tahun.
Melansir data Refinitiv, pada perdagangan hari ini hingga pukul 12.00 WIB, rupiah bertengger di Rp15.475/US$ dengan penguatan 0,45%. Pada perdagangan intraday, rupiah sempat ke posisi terkuat Rp14.460/US$ atau menguat 0,55% di hadapan dolar AS.
Menguatnya rupiah menunjukkan aliran dana asing kembali masuk ke RI. Bagi perusahaan yang melakukan impor, ketika rupiah menguat, beban perusahaan untuk ongkos impor bisa berkurang.
Beban yang berkurang tentu akan membuat kompensasi terhadap pendapatan menjadi lebih ringan, yang hasilnya bisa mendongkrak laba menguat.
Selain itu, jika ada perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS, ketika rupiah menguat, beban bayar bunga utang akan berkurang karena mendapatkan selisih keuntungan dari kurs.
CNBC INDONESIA merekap beberapa sektor dan emiten yang akan ketiban berkah penguatan rupiah :
1. Sektor Healthcare
Sektor farmasi akan menjadi salah satu yang diuntungkan lantaran dominasi impor bahan baku masih mencapai 90%. Pada 2023, nilai ekspor produk industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional Indonesia meningkat 8,78% dibandingkan 2022.
Beberapa emiten farmasi diantaranya seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Pyridam Farma Tbk (PYFA), PT Kimia Farma TBk (KAEF), PT Indofarma Tbk (INAF), dan lain-lain
2. Sektor Perbankan
Sektor perbankan juga turut menjadi sektor yang dapat berkah dari perkasanya rupiah akhir-akhir ini.
Penguatan rupiah akan memicu capital inflow semakin deras ke RI. Sektor perbankan menjadi sektor yang memiliki porsi terbesar ke Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan beberapa diantaranya memiliki market cap jumbo sudah menjadi langganan masuk indeks acuan investor global.
Sebut saja mulai dari indeks Morgan Stanley Capital Indonesia (MSCI), indeks Financial Times Stock Exchange (FTSE), sampai indeks acuan Bursa Efek Indonesia (LQ45, IDX30, dll).
Kuatnya rupiah yang terjadi akhir-akhir disinyalir berkat prospek pemangkasan suku bunga the Fed yang semakin dekat.
Hal ini sejatinya bisa menjadi double untung buat sektor perbankan. Sebagaimana kita tahu, sektor perbankan di Indonesia sudah menjadi kepala naga menjadi akselerator bagi sektor lainnya sebagai pemberi modal pelaku usaha melalui penyaluran kredit.
Jika nanti, suku bunga dipangkas setelah suatu bank mengalami era suku bunga tinggi sekian lama, maka bank tersebut bisa meningkatkan margin lantaran beban bunga berkurang, sementara penyaluran kredit bisa digencarkan karena minat kredit meningkat.
3. PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES)
Berikutnya ada emiten retail PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES) yang akan dapat berkah penguatan rupiah.
ACES merupakan perusahaan dengan penjualan utama di barang-barang kebutuhan rumah tangga dan gaya hidup. Untuk memasok persediaan barang tersebut, biasanya ACES melakukan impor.
Menurut laporan keuangan hingga separuh tahun ini, ACES mencatatkan beban pokok penjualan senilai Rp2,12 triliun. Dari nilai tersebut, persentase pembelian impir mencapai 80,32%.
4. Consumer Good Grup Salim
Emiten consumer good grup Salim, yakni PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan anak usahanya, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) juga terpantau bakal ketiban berkah.
Sebagai anak usaha, ICBP memiliki utang obligasi berdenominasi dolar AS cukup besar. Sampai dengan setengah tahun ini, utang dalam dolar AS mencapai Rp44,91 triliun, ini setara dengan 72,81% dari total liabilitas perusahaan senilai Rp61,68 triliun.
Berikutnya, INDF yang posisinya sebagai induk usaha dari ICBP tentu juga menanggung utang berdenominasi dolar AS tersebut. Pasalnya, kontribusi ICBP ke INDF sangat besar ke pendapatan, bisa lebih dari 70%.
Penguatan rupiah bagi ICBP dan INDF akan memberikan berkah lantaran ongkos bunga pinjaman akan lebih ringan, sehingga mereka akan dapat keuntungan dari selisih nilai kurs.