PT Sri Rejeki Isman atau Sritex mulai tenggelam dan karam karena terbentur gunung utang.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae pun mengungkapkan bahwa jumlah utang Sritex kepada para pemberi pinjaman nyaris menyentuh Rp 15 triliun.
“OJK mencatat Sritex memiliki utang pada 27 bank dan 3 multifinance, outstanding pada bank Rp 14,64 triliun dan Rp 0,2 triliun,” terang Dian dalam konferensi pers RDKB, Jumat (1/11/2024).
Secara total, utang Sritex ke 30 pihak mencapai Rp 14,84 triliun.
Sritex sebetulnya bukan perusahaan kemarin sore dan sudah berdiri lebih dari 50 tahun. Lantas siapa pendiri Sritex?
Sejarah perusahaan Sritex tidak bisa terlepas dari sosok pendirinya, yaitu Haji Muhammad Lukminto (H.M Lukminto). Lukminto alias Le Djie Shin adalah peranakan Tionghoa yang lahir pada 1 Juni 1946. Dia memulai karir sebagai pedagang dengan berjualan tekstil di Solo sejak usia 20-an.
Dalam uraian buku Local Champion, Solo sebagai pusat tekstil di Jawa sejak masa kolonial membuat bisnis Lukminto tumbuh subur. Hingga akhirnya pada 1966 atau di usia 26 tahun dia berani menyewa kios di Pasar Klewer. Kios itu diberi nama UD Sri Redjeki.
Tak disangka bisnisnya moncer. Dua tahun berselang dia mulai membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna untuk pasar Solo. Pendirian pabrik inilah yang kemudian menjelma menjadi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex yang kini bertahan hingga kini pada 1980.
Tak banyak cerita ‘tangan dingin’ Lukminto dalam menjadikan Sritex sebagai ‘raja’ industri kain di Indonesia. Satu hal yang menarik dari dirinya adalah kedekatannya dengan Presiden Indonesia Ke-2, Soeharto. Rupanya ada tangan dingin penguasa itu dalam perkembangan Sritex.
Mengutip Prahara Orde Baru (2013) terbitan Tempo, Sritex adalah ikon penguasa karena disinyalir berada di bawah perlindungan Keluarga Cendana, sebutan bagi keluarga Soeharto. Fakta ini tidak terlepas dari kedekatan Lukminto dengan tangan kanan Cendana, yakni Harmoko yang selama Orde Baru dikenal sebagai Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar. Harmoko adalah sahabat kecil Lukminto.
Karena dekat dengan pemerintah dan pemegang pasar, Sritex dan Lukminto mendapat durian runtuh. Di masa Orde Baru, Lukminto beberapa kali menjadi pemegang tender proyek pengadaan seragam yang disponsori pemerintah.
“Di dalam negeri, ketika itu Sritex (tahun 1990-an) menerima orderan seragam batik Korpri, Golkar, dan ABRI,” tulis Tempo. Dan karena ini pula Sritex mendapat jutaan rupiah dan dollar, ditambah dengan penguasaannya terhadap pasar garmen di dalam dan luar negeri.
Bagaimana Sritex bisa pailit?
PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang. Berdasarkan putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada PT Indo Bharat Rayon, selaku pemohon, berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022.
Selain itu, pengadilan juga menyatakan batal Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No. 12/ Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg Tanggal 25 Januari 2022 mengenai Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi).
Sritex pun bersama dengan tiga anak usaha saat ini telah mengajukan kasasi terkait putusan pailit dari PN Semarang.
Indo Bharat Rayon (IBR) tercatat sebagai pemohon dalam putusan pailit Sritex. Dalam keterbukaan informasi, Sritex menjelaskan bahwa PT IBR adalah kreditur perusahaan. Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2024, Sritex memiliki sisa utang Rp101,31 miliar kepada PT IBR atau 0,38% dari total liabilitas Sritex.
Mengutip laman resmi perusahaan, Indo Bharat Rayon didirikan pada 1980 dan mengklaim dirinya sebagai pionir pembuat serat buatan atau viscose staple fibre (VSF) di Indonesia.
Perusahaan ini memiliki pabrik di Purwakarta, Jawa Barat yang mulai produksi secara komersial pada 1986 dengan kapasitas 16.500 tpa. Saat ini utilisasi pabrik tersebut telah mencapai 200.000 tpa.
Adapun PT IBR merupakan bagian dari Aditya Birla Group, perusahaan konglomerasi asal India. Mengutip laman resmi Adiya Birla, perusahaan tersebut memiliki sejumlah portofolio di Indonesia selain PT IBR, yakni PT Elegant Textile Industry, PT Indo Liberty Textiles, PT Indo Raya Kimia, dan PT Sunrise Bumi Textiles.
Sebagai informasi, di balik keberhasilan Aditya Birla mendirikan konglomerasi ada tangan dingin Ghanshyam Das Birla. Dia tercatat sebagai pendiri dengan memulai bisnis sebagai pedagang katun. Kemudian bisnisya diperluas ke berbagai sektor seperti, aluminium, semen, hingga industri bahan kimia dan tersebar di 24 negara.