SPBU Shell Dikabarkan Mau Cabut dari RI, Asosiasi Buka Suara

Suasana Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Shell di kawasan Jalan Joglo Raya, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (18/4/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Suasana Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Shell di kawasan Jalan Joglo Raya, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (18/4/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Perusahaan energi dan petrokimia global Shell dikabarkan bakal angkat kaki dari kegiatan operasionalnya di Indonesia. Sebelumnya, dalam laporan Shell Energy Transition Strategy 2024 perusahaan Belanda-Inggris tersebut telah mengungkapkan rencana penutupan 500 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) termasuk perusahaan patungan pada 2024 dan 2025.

Aksi hengkangnya Shell bukan tanda sinyal, sebelumnya perusahaan telah resmi menutup sembilan Stasin Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang beroperasi di Sumatera Utara. Penutupan itu telah berlaku sejak 1 Juni 2024. Sementara itu, di pasar global Shell tahun lalu telah mendivestasikan seluruh kepemilikan saham mayoritas (77,42%) di Shell Pakistan kepada Wafi Energy LLC.

Kabar hengkangnya Shell dari RI ini pun terdengar oleh Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas). Ketua Komite Investasi Moshe Rizal menyampaikan telah mendengar desas-desus tersebut sejak beberapa minggu lalu.

Mengutip detikcom (24/11), Moshe menilai kabar hengkangnya perusahaan raksasa migas yang berbadan hukum di Inggris ini tak lepas dari sulitnya bisnis penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri. Menurut Moshe, pasar jaringan ritel penyaluran produk BBM di SPBU saat ini didominasi oleh Pertamina.

“Kalau dibilang pernah dengar nggak, ya pernah dengar ada kabar itu (Shell tutup). Jadi, sudah beberapa minggu yang lalu. Jadi, ini kan perkiraan saya, tapi memang bisnis BBM, apalagi distribusi BBM, SPBU itu sulit. Kenapa? Di Indonesia, karena memang sudah dimonopoli oleh Pertamina kan,” kata Moshe kepada detikcom, Minggu (24/11/2024).

Moshe menjelaskan perusahaan migas yang ingin menyalurkan produk BBM di Indonesia harus mempunyai nilai tambah lebih dibandingkan dengan produk Pertamina, seperti dari segi kualitas, performance-nya, hingga pelayanan. Namun, di sisi lain produk-produk Pertamina semakin lebih kompetitif.

Moshe menilai Pertamina semakin lebih baik dari segi kualitas produk hingga pelayanan. Hal inilah yang semakin menjadi tantangan perusahaan migas di Indonesia.

“Nah, di satu sisi kualitas BBM Pertamina ini kan semakin lama semakin baik juga. BBM untuk mereka bersaing itu akhirnya semakin ketat. Dan kita pengendara, masyarakat yang melihat, misalkan masyarakat yang pakai Pertamax, Pertamax Plus, dan sebagainya melihat tidak ada nilai tambah yang signifikan yang membuat mereka harus pakai Shell daripada pakai Pertamina. Itu yang jadi tantangannya jadi lebih berat. Memang kualitas Pertamina dari sisi pelayanannya, dari sisi BBM semakin lama semakin baik, nah itu yang jadi sulit,” jelas Moshe.

Moshe menegaskan alasan penutupan SPBU milik perusahaan migas asing tidak bisa disamaratakan. Sebab, dia menilai masih melihat SPBU-SPBU milik asing masih dapat beroperasi.

Dia berpendapat Shell Indonesia bisa saja tidak melihat adanya pertumbuhan dan profitabilitas dari bisnis SPBU di Indonesia. Untuk itu, memilih menutup semua SPBU.

“Kalau dia melihat ke depannya, oh ini kayaknya pertumbuhannya kurang. Ya ngapain mereka spend energi dan waktu dan kapital hanya untuk istilahnya melanjutkan bisnis yang pertumbuhannya mungkin kurang. Yang dianggap mereka kurang menarik. Mereka punya kriteria sendiri. Perusahaan lain mungkin masih menarik, makanya yang lain masih ada, masih eksis. Tapi bagi Shell mungkin ini kurang karena ada portfolio mereka atau aset bisnis mereka yang jauh lebih menarik. Mereka fokusnya ke sana. Jadi itu prioritas dari perusahaan, seperti apa,” terang Moshe.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*